Rabu, 14 Mei 2014

3 Hari untuk Selamanya

Jadi sebenernya, saya gatau apa-apa tentang 3 Hari untuk Selamanya. Saya hanya memilih menonton itu secara random... atau lebih tepatnya ada embel-embel Nicholas Saputra. Tanpa tau trailer dan plot, saya memutuskan untuk menonton film besutan Riri Riza ini.


Bercerita tentang Yusuf (Nicholas Saputra), seorang pemuda yang dimintai tolong oleh tantenya untuk mengantar seperangkat piring ke Yogyakarta lewat jalur darat. Ia melakukan perjalanan roadtrip tersebut bersama dengan sepupunya, Ambar (Adinia Wirasti). Perjalanan yang sebenarnya hanya memakan satu setengah hari, menjadi molor tiga hari. Namun, perjalanan mereka membuat mereka menjadi lebih sadar akan arti hidup.

Simple? Yes, premisnya. Tapi menurut saya, eksekusinya bagus. Good job, again, paduan Nicholas Saputra dan Riri Riza! (Also Adinia Wirasti). Jujur, saya nyaman menonton ini. Walau..... agak kaget dan tidak menyangka. Seorang Nicholas Saputra, yang biasanya memainkan peran-peran berat nan serius, kali ini berhasil (!) memainkan Yusuf, pemuda kota metropolitan, seorang pengguna narkoba yang doyan ngeganja dan teler serta gaul abis, Yusufaaaaaa!!!


Saya juga suka dengan penampilan Adinia Wirasti disini. Walau saya nggak cukup familiar dengan film-film Adinia, namun saya suka peran dia disini! Ambar, seorang anak muda yang mengalami transisi, hidup di kehidupan bebas dan merasa skeptis terhadap perkawinan.

But there's something wrong.
Ini bukan salah Riri Riza. Overall, menurut saya, Riri Riza jujur buat nampilin sisi kelam pemuda jaman sekarang, semua kehidupan bebasnya. Mulai ngedugem, ngedrugs, hingga free sex. Nggak masuk akal juga kan, kalau nggak masukin scene semacam itu ke film yang mengandung unsur pergaulan bebas?
Jadi saya memilih buat menyalahkan LSF. Sekali lagi, teman-teman, gunting LSF merusak keindahan dan kenyamanan dalam menonton suatu film. Total ada 8 (atau lebih?) adegan yang disensor. Dan yang paling krusial, adalah sex scene, ketika menuju ending.
Wajah Yusuf dan Ambar saling mendekat. Lalu blank. Layar item. Dialog mati. Musik mati. Blank screen.........And then, 9 bulan kemudianGanti scene
Sumpah jatuhnya itu kentang! Dan sejujurnya ga cuman kesel sih, saya juga murka sebenernya. Tensi yang udah dibangun, hilang begitu saja. Hilang ditelan gunting sensor jahanam.
I mean, this film is for 18+. Praktis yang menonton film ini adalah masyarakat Indonesia yang berumur 18+. Nah, dalam umur 18 keatas, diharapkan orang-orangnya sudah stabil, sudah tidak mengimitasi scene di film lalu mengaplikasikannya pada dunia nyata. Yang berarti sudah sadar mana yang salah, mana yang benar dan konsekuensinya. 
Terus ngapain sex scene disensor? Toh diumur 18 tahun keatas, kita udah cukup dewasa buat tidak meniru adegan tersebut. Yah kecuali kalau ini film petualangan anak-anak lalu ada ibu si anak lagi ngeseks, baru tuh di cut. But this? Are you kidding us, LSF?

Overall, saya suka sekali dengan filmnya. But, there's something blank and it ruined the film. Ga akan ngasih rating sih, soalnya kenikmatan saya terganggunya sama hal eksternal bangsat.
Thanks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar